Assalaamualaikum Suamiku : Nikmat Mana Lagi yang Harus Kudustakan?

Subuh yang dingin, ketika mataku menangkap sosokmu yang sudah mengenakan koko putih dan sarung hitammu. Peci warna putih tak lupa bertengger di atas rambutmu yang panjangnya hampir menyentuh bahu.

Mataku mengerjap saat senyum menghiasi wajahmu, kemudian bibir itu berucap bahwa kamu akan pergi ke masjid. Nyawaku masih belum genap terkumpul. Namun sempat kulirik jam dinding yang bertengger di atas dinding. Benda yang berdetak itu masih menunjukkan angka 04. 30 wib. Adzan subuh masih sekitar setengah jam lagi, tetapi kamu sudah terlihat rapi begini, dan pasti wangi.

Aku hanya membalas senyummu tipis. Segera kuberanjak dari tempat tidur. Kuikuti langkahmu menuju pintu utama. Setelah kamu mengucapkan salam, dan punggungmu hilang dari tatapan, kututup pintu perlahan. Aku menghela nafas dan segera melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Rasanya masih malu mengingat apa yang terjadi semalam. Kamu, lelaki dengan senyum manis, yang membuat dadaku berdebar saat acara lamaran beberapa waktu yang lalu. Kemudian setelah ijab kabul usai, saat kita berdua di kamar, ada hadiah istimewa yang kamu berikan untukku.

“Kita shalat sunah dulu, Dik.” Katamu setelah kita mengganti pakaian pengantin dengan baju biasa. Aku hanya mengangguk, bergegas mengambil air wudlu dan setelahnya kamu mengimami shalat sunah malam itu. Lalu kamu pegang ubun-ubunku dan berdoa demi kebaikanku, kebaikan rumah tangga kita.

“Dik, ini janjiku pada diri sendiri. Jika aku menikah ingin membacakan Surat Ar-Rahman untuk istriku. “Ucapmu setelah berdoa di atas ubun-ubunku. Aku hanya bergeming.
“Aku hanya berharap, kita -suami istri- bisa mengambil satu ayat yang di ulang-ulang di dalamnya sebagai suatu pegangan. Bahwa seberapapun kelak pahit yang akan kita jalani, begitu banyak nikmat Tuhan yang diberikan.” Aku hanya bisa mengangguk dan mendengarkan suaramu yang merdu dan tartil melantunkan ayat itu satu persatu.

alifmatrimony.com

Saat selesai melantunkan Surat Arrahman, waktu tengah malam telah berlalu. Kamu kembali tersenyum, menyimpan Al quran di nakas sebelah tempat tidur, begitu juga dengan pecimu. Aku terkesima melihat rambutmu yang ternyata begitu tebal dengan model belah samping. Kamu terlihat seperti siapa ya…oh ya Randi Pangalila. Saat aku kepergok menatapmu, aku hanya bisa tersenyum…malu.
“Ayo, Dik kita istirahat.” Aku hanya mengangguk, dan segera berbaring merapat dekat dinding. Lalu kamu menyusul di sebelahku. Kita sama-sama merasa canggung, terdiam dan hanya menatap langit-langit kamar.
“Jangan lupa berdoa.” Ujarmu lembut. Aku sempat menoleh, tetapi matamu masih menatap langit-langit.

Aku tak bisa melukiskan apa yang kurasakan saat itu. Sungguh, aku sangat bersyukur menerima tawaran Ummi saat dia bilang inging menikahkanku.
“Aku masih kuliah, Mi.” Ujarku waktu itu.
“Ummi tahu, tetapi ibu sungguh suka dengan calon yang satu ini, Rain.” ujarnya lembut.
Aku hanya bergeming. Aku tahu tidak ada alasan menolak calon yang baik.
“Apa aku bisa menjadi istri yang baik, Mi. Aku masih kuliah, aku belum pandai masak.” tanyaku lagi mencoba mencari sebuah keyakinan.
“Ummi rasa, pendidikan pesantrenmu selama 9 tahun ini sudah bisa menjadi bekal untuk menjadi istri yang baik.”
“Apa dia mau dengan aku yang masih kuliah ini, Ummi?”
“Ummi nggak tahu, ummi belum bertanya sama orangnya. Ummi juga nggak tahu apa dia sudah mau sama kamu apa tidak.” Ummi menjawabnya dengan nada santai.
“Ummi ih…kirain orangnya sudah mau melamar. Ternyata…”
“Hmm…sebenarnya Ummi sudah ngelamar dia 6 tahun yang lalu. Tetapi ummi nggak tahu apa dia menganggapnya serius apa tidak.”
“Ummi, kok kita yang ngelamar? Aku malu.”
“Ih…enggak apa-apa, ya. Kalau calonnya baik, kenapa harus kita lepaskan. Kewajiban ummi dan abi memilihkanmu pendamping hidup yang baik.”
Aku hanya terdiam, masih tak mengerti jalan pikiran ummi. Ummi yang sudah memikirkan jodohku 6 tahun lalu, saat itu aku masih baru mau masuk tingkat MA.

Namun aku harus berterimakasih banyak pada ummi, yang benar-benar memilihkanku jodoh yang baik. Meskipun baru satu hari ini aku berada di dekatnya dan mendapat predikat istrinya, aku tahu dia lelaki dengan label limited edition.

Maka 3 hari sejak percakapan malam itu, ummi mengatakan jika lelaki itu mau bertaaruf padaku. Meskipun kata ummi, lelaki itu pernah melihatku 6 tahun yang lalu. Aku menunggu moment saat lelaki itu akan diperkenalkan atau dipertemukan olehku. Lelaki pilihan ummi 6 tahun lalu. Tetapi pertemuan itu tidak pernah ada, hingga setelah akad nikah aku baru dipertemukan olehnya. Ternyata diam-diam ummi mengambil fotoku dan mengirim video singkat tentangku. Dan lelaki itu mantap memilihku.

Suara pintu terdengar, aku yakin suamiku datang. Bergegas segera kubuka pintu. Dengan senyum manis kuucapkan,”Assalaamualaikum suamiku.” Kuambil tangannya takdzim. Wajahnya terlihat bersih bercahaya, sedap sekali dipandang. Dalam hati aku hanya bisa berkata,”nikmat Tuhan manalagi yang kudustakan?”(to be continue)

#Terimakasih untuk kamu yang menginspirasi

4 responses to “Assalaamualaikum Suamiku : Nikmat Mana Lagi yang Harus Kudustakan?”

  1. MasyaAllah. So sweet banget. Aku jadi keingetan pertama kali ketemu suami dan hari pertama menjadi istri hehehe…

    Like

  2. hihihi…ini hanya khayalan semata.
    Manis ya, nIsya.

    Like

  3. Wah cerbung. Ditunggu kelanjutannya Mbak Wid. Ini adalah cerita pernikahan impian setiap wanita. Maka nikmat Tuhan mana kah yang kamu dustakan?

    Like

    1. iya mbak, lagi belajar nulis fiksi lagi

      Like

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started